gerakan iqro'

Manusia Pembelajar Sejati; Demi Pena dan Apa-Apa yang Dituliskannya

 
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998; Kapan Ada Keadilan untuk Korban?
Rabu, 13 Mei 2009
Para korban dan keluarganya pasti belum bisa melupakan Tragedi 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Meski sudah 11 tahun berlalu, tragedi itu tetap menjadi misteri yang menyisakan elegi bagi para korbannya.

Memang keberadaan negeri ini sudah lama kehilangan makna. Bagi para korban HAM, negara sudah lama absen. Ketika tragedi kelabu itu terjadi, tangisan, teriakan, dan jeritan frustrasi para korban tidak pernah didengar oleh negara, oleh pemerintah waktu itu, pemerintah yang menyusulnya kemudian sampai pemerintah di era sekarang.

Memang sudah dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut Komnas HAM, telah terjadi perkosaan secara masal, sistematis, biadab, dan keji terhadap para wanita etnis Tionghoa di tengah kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Pemerintah Habibie juga sudah membentuk Tim Perlindungan Wanita terhadap Kekerasan, juga ada Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk pada 23 Juli 1998. Rekomendasi kedua tim tersebut tidak pernah ditindaklanjuti. Jadi, sampai sekarang para pelaku Tragedi Mei itu tak satu pun yang ditangkap atau diadili.

Komnas HAM Tak Berdaya

Komnas HAM yang dulu atau sekarang telah berupaya memanggil para mantan jenderal yang dianggap mengetahui atau bertanggung jawab atas beberapa kasus pelanggaran HAM masa lalu, tapi pemanggilan itu selalu gagal. Polemik antara para mantan jenderal dan Komnas HAM pun tak terelakkan. Semisal Menhan Juwono Sudarsono malah balik "menggugat" kewenangan hukum Komnas HAM.

Pernyataan Menhan (yang mewakili pemerintah) menunjukkan bahwa sesungguhnya komitmen pemerintah menegakkan HAM masih kecil, sementara iklim politik masih didominasi spirit anti-HAM. Padahal, pengungkapan kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di tanah air seperti "Tragedi Mei 1998" memerlukan komitmen dari pemerintah. Tanpa ada komitmen dan good will langsung dari presiden ,kasus tersebut bakal terkubur.

Para pelanggar HAM, apalagi dari kalangan militer, sudah bisa dipastikan akan menolak dituduh sebagai penanggung jawab pelanggaran HAM dengan beragam argumentasi dan rasionalisasi. Mereka akan mengatakan bahwa kesalahan terletak bukan pada diri mereka.

Yang menyedihkan justru ada rasionalisasi bahwa para korban HAM dalam peristiwa 13-15 Mei 1998 itu tidak pernah ada, karena tidak pernah bisa dibuktikan. Apalagi, jika dikaitkan dengan perundang-undangan pemerkosaan di negeri ini. Bagaimana membuktikan bahwa korban sungguh diperkosa?

Seperti dikatakan advokat senior Surabaya Trimoelja D. Soerjadi dalam beragam kesempatan bahwa setiap kasus yang terindikasi melibatkan militer, seperti Tragedi Mei, tidak pernah akan bisa diselesaikan dengan memuaskan. Artinya, para pelaku tetap bisa mengirup udara kebebasan. Tak ada keadilan bagi para korban. Hal ini juga terjadi pada kasus pelanggaran HAM lain, mulai Peristiwa 1965 dan Tragedi Mei 1998.

Rekonsiliasi Sejati

Meski demikian, penulis menganjurkan para korban Tragedi Mei untuk berani memaafkan, meskipun memaafkan bukan berarti harus melupakan. Harus selalu dicari ruang untuk mengingat peristiwa buruk seperti Tragedi Mei 1998. Dengan demikian, usul islah atau rekonsiliasi jangan pernah diabaikan meski ada yang bertanya untuk apa rekonsiliasi.

Tentu ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar rekonsiliasi terwujud. Pertama, harus diakui adanya pelanggaran berat HAM dalam Tragedi Mei 1998. Itu berarti ada pelaku yang harus bertanggung jawab. Kedua, keadilan harus ditegakkan. Artinya, pelaku harus mendapatkan sanksi hukum. Dengan demikian, luka hati korban dan keluarganya mendapatkan pemulihan. Setelah proses hukum ditegakkan, antara korban dan pelaku harus diupayakan perdamaian, supaya kebencian dan dendam tidak hidup terus sepanjang tujuh turunan.

Uskup Desmond Tutu, ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, menulis bahwa rekonsiliasi sejati mengekspos kekejaman, kekerasan, kepedihan, kebejatan, dan kebenaran, bahkan terkadang dapat memperburuk keadaan. Ini adalah perbuatan berisiko. Meski begitu, pada akhirnya akan ada pemulihan nyata setelah menyelesaikan situasi yang sebenarnya. Rekonsiliasi yang palsu hanya dapat menghasilkan pemulihan palsu (Buku No Future Without Forgivenes, 1999).

Akhirnya untuk negara dan pemerintah, sekali lagi utang-utang pada para korban harus dilunasi. Tocqueville (1805-1859) mengingatkan: "Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusia mengelana di tengah kabut". Kabut dari peristiwa gelap masa lalu itulah yang harus disingkap negara demi keadilan pada para korban, termasuk korban Tragedi Mei.

Selama orang terus mencari alasan guna lari dari tanggung jawab terhadap para korban HAM dan kekuasaan negara memberi perlindungan terhadap sikap pengecut ini, sehingga para pelaku terus menikmati impunitas di atas derita para korban HAM, negeri ini tetap akan susah mencapai masa depan. Sebab, pelanggaran HAM di masa silam selama terus dibiarkan justru menjadi kabut yang menghalangi perjalanan bangsa ini ke depan.

Kabut itu harus disingkap dan para korban dijamin mendapatkan keadilan yang setimpal. Dengan demikian, kita bisa menyongsong masa depan tanpa ada yang dikorbankan lagi.

*). Mustofa Liem PhD, Dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk Kesetaraan.
posted by arief @ 08.41  
About Me

Name: arief
Home: Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia
About Me: Terlahir dengan nama Arief Kurniawan, sekarang lagi mempopulerkan diri di dunia maya www.arief-sastra1.blogspot.com, facebook: che_kurnia@yahoo.co.id email: arief_sastra1@yahoo.com ^_^ dilahirkan dg normal digubuk reyot orang tuanya dg bantuan seorang dukun pd Ahad pahing, 16 Maret 23 tahun yg lalu. Sejak kecil hoby menulis, apa yang ada dlm pikiran kucoba rangkai dg kata2, kutulis dg pena atau kutuntun jemariku mengetik semua keluh kesah & pikiran yang ada. Hanya manusia biasa, tak sebaik malaikat & semoga tak sehina iblis. selalu berusaha utk selalu dekat dengan ALLAH SWT. Tiap shubuh hobby, mem-play winamp musik-musik kitaro atau murattal-nya Ustadz Sa’ad Al Ghomidy, saya menemukan sebuah kedamaian di sana. Banyak teman, tapi tak banyak sahabat. Mahasiswa Mahasibuk yang punya kerjaan sampingan jadi kuncen gunung Wilis dan penulis lepas di beberapa media serta aktif di organisasi dakwah. Bisa ditemui di gedung dakwah jl. Jawa 38 atau Gedung Central Group Ponorogo Jl. Batoro Katong 15 dan di Jl. Wilis 22, lebih tepatnya di depan komputer mencari ide dan menulis kata hati atau apapun yang bisa ditulis. Bisa dihubungi di nomor 0352 488676 atau 085645813815
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Powered by

BLOGGER

© 2005 gerakan iqro' Blogspot Template by Isnaini Dot Com