gerakan iqro'

Manusia Pembelajar Sejati; Demi Pena dan Apa-Apa yang Dituliskannya

 
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Belajar Bersyukur
Jumat, 12 Desember 2008
Seorang ibu terlihat gusar setelah melihat tumpukan
piring kotor di dapurnya. Semua itu bekas makan siang
beberapa orang tamu yg baru saja berkunjung. Bukan krn
banyaknya cucian piring, tapi masih terlihatnya
potongan2 daging bersisa. Belum lagi sisa nasi yg
masih menumpuk di piringnya. Ah … padahal utk
menyediakan lauk pauk itu tentu si ibu mesti
mengeluarkan uang yg tdk sedikit. Semua itu demi
menjamu tamunya. Kalau saja para tamu itu hanya
memakan daging dan mengambil nasi secukupnya saja,
tentu tidak akan ada makanan bersisa di piring kotor,
dan anak – anaknya bisa ikut menikmati sebagian daging
utuh lainnya.



Melihat potongan daging itu, si ibu bingung, mau
dibuang … sayang, mau diolah lagi … sudah kotor
bercampur sisa makanan lain … tapi alhamdulillah
tetangga sebelah punya kucing. Mungkin ini rezekinya
si kucing.



“Jika kamu menghitung – hitung nikmat Allah, niscaya
kamu tdk akan dpt menentukan jumlahnya. Sesungguhnya
Allah benar2 Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An –
Nahl : 18).



Begitu banyak nikmat yg diberikan Allah kpd kita.
Nikmat iman, sehat, penghidupan (harta, ilmu, anak,
waktu luang, ketentraman dll) serta nikmat2 lain yg
tak terkira. Namun dengan sekian banyak nikmat yg
Allah berikan sering klai kita lupa dan menjadikan
kita makhluk yg sedikit sekali bersyukur, bahkan tdk
bersyukur. Na’udzubillahi min dzalik …



Sering kali kita baru menyadari suatu nikmat, bila
nikmat itu diambil atau hilang dr siklus hidup kita.
Ketika sakit, baru kita ingat semasa sehat. Bila kita
kekurangan baru kita ingat masa-masa hidup cukup.
Syukur diartikan dengan memberi pujian kpd yg memberi
nikmat dengan sesuatu yg telah diberikan kpd kita
berupa ma’ruf dlm pengertian tunduk dan berserah diri
pd-NYA. Cobalah kita memikirkan setiap langkah yg kita
lakukan. Bila makan tak berlebihan dan bersisa.
Bayangkan, di tempat lain begitu banyak yg kesulitan
dan bekerja keras utk mencari sesuap nasi. Bahkan
banyak saudara kita yg kurang beruntung, mencari makan
dari tong – tong sampah. Lantas sedemikian teganyakah
kita menyia – nyiakan rezeki makanan yg didpt dengan
berbuat mubadzir. Ketika punya waktu luang malah
dipergunakan utk beraktivitas yg tdk bermanfaat bahkan
cenderung merugikan orang lain. Kala tubuh sehat,
malah lebih banyak dipakai melangkahkan kaki ke tempat
tak berguna. Tidak terbayangkah bila nikmat itu hilang
dengan datangnya penyakit atau musibah lainnya. Ah …
alangkah ruginya… krn semuanya menjadi percuma
disebabkan tidak bersyukurnya kita atas nikmat. Bahkan
krn sikap2 tadi yg didpt hanyalah dosa dan murkaNYA.



Kita harus berusaha menerapkan rasa syukur kita dr hal
p hal yg sederhana. Setiap aktivitas sekecil apapun
usahakan utk slalu sesuai aturanNYA. Kerusakan yg
sekarang timbul di sekeliling kita tdk lain krn sikap
kufur nikmat sebagian dr kita. Bayangkan, negara yg
kayak akan sumber daya alam, tetap sebagian besar
rakyatnya miskin. Untuk itu, tdk ada salahnya bila
kita mulai dr diri dan keluarga kita, belajar
bersyukur atas nikmat yg Allah berikan. Agar nikmat
itu jangan sampai mjd balasan siksa krn kufur akan
nikmatNYA. Mulailah utk sering melihat kondisi orang2
yg berada di bawah kita. Jika sudah, tentulah kita
akan lebih banyak mengatakan “Alhamdulillah”.



Seperti dlm hadits rosulullah saw “Perhatikanlah orang
yg berada di bwh tingkatanmu (dlm urusan duniawi), dan
janganlah kamu memandang kpd orang yg berada di
atasmu. Itu lebih layak bagimu supaya kamu tidak
menghina pemberian Allah kpdmu” (HR. Muslim)



“Ya Allah, aku berlindung kpdMU dr kehilangan nikmat
(yg telah Engkau berikan), dari siksaMU yg mendadak,
dari menurunnya kesehatan (yg Engkau anugrahkan) dan
dari setiap kemurkaanMU” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).
posted by arief @ 06.49  
Mengapa Engkau Mengeluh
Mengapa Engkau Mengeluh

Dalam kehidupan kita tentunya ada hal-hal yang terjadi diluar kehendak kita yang sering kita anggap sebagai suatu hal yang kurang bahkan tidak menyenangkan. Gagal dalam ujian, gagal dalam memperoleh pekerjaan padahal sudah berusaha maksimal, kepandaian yang pas-pasan, bentuk tubuh yang kurang proporsional, suasana keluarga yang nggak nyaman, teman yang enggak pengertian atau masih banyak lagi keadaan yang sering membuat kita tidak senang. Apa yang kita lakukan dengan peristiwa-peristiwa di atas?
Mengeluh, itulah yang sering kita lakukan. Mengeluh dengan segala kejadian tak menyenangkan yang menimpa kita. Puncaknya kita jadi mudah marah, menyalahkan semua orang bahkan menyalahkan Sang Kholiq.

Sering juga kita merasa tidak seberuntung orang-orang di sekeliling kita.
Mungkin masih terdengar dari lisan kita, “Kenapa hidup seperti ini ? susah !”
Tak jarang pula kita berburuk sangka pada Sang Kholiq. Kita mungkin pernah menyalahkan takdir, padahal tak ada yang salah dalam takdir Allah. Tak mungkin pula Allah salah alamat. Seperti inilah hidup yang harus kita jalani.

Hal itu menyadarkan kita betapa kita adalah makhluk yang lemah dan tak berdaya….dan betapa Maha Kuasanya Allah sebagai Sang Pencipta. Agar kita lebih bisa menerima apa adanya dan membuat kita belajar untuk bersabar. Itulah salah satu keajaiban iman.

Saudaraku, masalah memang selalu menerpa manusia. Semakin kuat iman seseorang, semakin pelik masalah yang dihadapi. Oleh karenanya sewaktu Nabi ditanya tentang siapa yang paling berat masalahnya? beliau menjawab :para nabi.

Ya, tentu hal itu dapat kita lihat sendiri dari kisah-kisah tentang nabi-nabi kita.
Lihatlah Nabi Nuh, dalam berdakwah hanya sedikit pengikutnya, membuat kapal besar dengan sedikit orang tentu merupakan pekerjaan yang sangat berat.
Beliau dijuluki gila oleh kaumnya, bahkan anaknya tidak mau mengikuti ajakannya. Namun beliau tetap tegar berdakwah. Bagaimana rasanya bila kita menyampaikan suatu hal yang benar tapi malah dibilang gila. Bagaimana rasanya melihat adik kita tenggelam padahal kita sudah berusaha menolongnya? Padahal cinta kita, rasa kehilangan kita tidaklah sebesar rasa cinta dan kehilangan orang tua kita? Lalu apa yg dirasakan Nabi Nuh? Apakah beliau menghentikan dakwahnya? Apakah ia menyalahkan Tuhannya?

Bagaimana dengan Nabi Ayyub, beliau kehilangan hartanya, diusir dari kampungnya, bahkan terserang penyakit mengerikan selama bertahun-tahun.
Apakah beliau berani menggugat takdirnya kepada Allah? Apakah ia memaki–maki orang–orang yang mengusirnya ? Apakah beliau mendoakan agar orang–orang tersebut ditimpa bencana? Apakah ia menjadi lalai akan ibadahnya kepada Allah?
Lalu bagaimana dengan Nabi Ibrahim? Seorang nabi yang harus menjual berhala yang dijadikan tandingan Tuhannya.
Nabi yang dibakar karena memotong kepala behala. Apakah api membuatnya putus asa? Bertahun lamanya menanti kehadiran seorang putra dan setelah mendapatkanya beliau mendapat wahyu untuk menyembelihnya. Bagaimana jika kita harus menyerahkan barang yang sangat kita cintai kepada teman kita? Padahal Nabi Ismail bukan sekedar barang. Padahal beliau adalah anak yang sangat berbakti. Apakah Nabi Ibrahim mengeluh? Apakah Nabi Ibrahim mengatakan bahwa Allah tidak adil karena ia telah mendakwahkan agama Allah tapi ia harus menyembelih putranya?

Bagaimana pula dengan Nabi kita Muhammad saw, nabi yang hartanya habis disedekahkan di jalan Allah.
Nabi yang dimusuhi oleh pamannya sendiri.
Nabi yang hanya makan gandum dengan lauk cuka.
Nabi yang diusir dari tempat tinggalnya. Apakah beliau berkeluh kesah?
Apakah ia bermuka cemberut? Tidak bukan? Wajahnya selalu ceria, kata–kata yang diucapkannya adalah kata–kata baik. Beliau tidak melewatkan malamnya hanya dengan tidur tapi dengan shalat hingga kakinya bengkak.

Mengapa kita mengeluh, Saudaraku?
Apakah beban kita seberat mereka?
Apakah cobaan yang kita hadapi lebih berat dari yang mereka hadapi?
Lalu mengapa kita terus mengeluh, mengomel dan menggerutu?.
Dan apakah rasa syukur kita lebih dari mereka hingga kita berani menuntut Allah?

Kita memang tidak akan bisa sama seperti mereka. Namun bukankah kita harus meneladani akhlak mereka? Kita juga harus berusaha untuk bersyukur, sabar, tabah dalam menghadapi cobaan dan pasrah kepada Allah seperti mereka kan? Dan mengingatkan diri kita bahwa cobaan itu datangnya dari Allah dan Allah–lah yang paling mengetahui kesanggupan kita.
Wallahu a’lam
posted by arief @ 06.38   0 comments
Kuntowijoyo; Bersajak untuk Malaikat dalam “Daun Makrifat, Makrifat Daun”
Kuntowijoyo; Bersajak untuk Malaikat dalam
“Daun Makrifat, Makrifat Daun”

Sebagai hadiah
Malaikat menanyakan
apakah aku ingin berjalan di atas mega
dan aku menolak
karena kakiku masih di bumi
sampai kejahatan terakhir dimusnahkan
sampai dhuafa dan mustadh'afin
diangkat Tuhan dari penderitaan

>aku ingin
meletakkan sekuntum sajak
dimakam nabi
supaya sejarah menjadi jinak
dan mengirim sepasang merpati

(Daun Makrifat Makrifat Daun, Kuntowijoyo: 1995)


PENJELAJAHAN

Dalam melakukan penjelajahan terhadap karya sastra biasanya anak didik akan antusias ketika di berikan cerita tentang tokoh hebat atau sejarawan yang terkenal. Pada dasarnya pembelajaran yang ditekankan pada study tokoh akan lebih berhasil guna, pasalnya anak didik akan lebih mengenal dan mensifati kebaikan dan prestasi serta karya yang telah di lahirkan dari sang tokoh.

Dalam metode study tokoh kita akan mengenal biografi dari sang tokoh dari kelahiran, masa kecil sampai, riwayat pendidikan serta berbagai karya yang ditelurkannya. Sehingga pembelajaran semacam ini akan lebih memotifasi anak didik untuk berbuat lebih baik dan berguna melebihi tokoh yang kita ceritakan di depan kelas. Dan hal ini akan lebih mengena pada anak didik ketika mereka langsung di suguhkan pada karya dan dunia sang tokoh yang di bahas. Apalagi kalau mendatangkan sang tokoh langsung dihadapan anak didik, hal itu pasti aka memberikan kesan luar biasa pada mereka. Sehingga akhirnya kita akan melihat perubahan anak didik menuju sebuah mimpi besar seperti mimpi para tokoh bersar di dunia.

Tokoh yang melahirkan karya di atas ini seorang sejarawan beridentitas paripurna. Dia menyandang sejumlah identitas dan julukan. Penulis lebih 50-an buku ini seorang guru besar, sejarawan, budayawan, sastrawan, penulis-kolumnis, intelektual muslim, aktivis, khatib dan sebagainya. Guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, ini seorang yang sangat menghargai kearifan budaya Jawa, rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan. Dia seorang intelektual muslim yang jujur dan berintegritas.

Baris sajak itu dipetik dari kumpulan puisi Daun Makrifat, Makrifat Daun, yang ditulis Kuntowijoyo pada 1995, selagi kesehatannya masih tergganggu. Sajak itu menggambarkan dengan jelas "perjuangan" seorang manusia yang sudah melihat kelebatan malaikat di sekitarnya. Namun ia tak mau begitu saja menyerah.

Ia menolak "berjalan di atas mega", walaupun diiming-imingi dengan hadiah yang barangkali tak pernah ada di dunia nyata. Ia masih ingin berada di bumi untuk melakukan kerja yang belum selesai: melibas kejahatan. Sampai kejahatan terakhir dimusnahkan,
Sampai dhuafa dan mustadh'afin diangkat Tuhan dari penderitaan. Itulah gelora jiwa dan semangat hidup Kuntowijoyo, Padahal langkah-langkah kakinya kian tertatih dan suaranya kelu, tak jelas artikulasi kalimat-kalimatnya

Kendati menjalani hidup dalam keadaan sakit, semenjak mengalami serangan virus meningo enchepalitis atau radang selaput otak kecil pada 6 Januari 1992, dia terus berkarya sampai detik-detik akhir hayatnya. Prof Dr Kuntowijoyo, yang akrab dipanggil Pak Kunto, ini meninggal dunia di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta, Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare dan ginjal.

Jenazahnya disemayamkan di rumah duka Jl Ampelgading 429, Perumahan Condongcatur dan di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM). Dikebumikan Rabu 23 Februari 2005 di Makam Keluarga UGM di Sawitsari, Yogyakarta. Dia meninggalkan seorang istri, Drs Susilaningsih MA yang dinikahi pada 8 November 1969, beserta dua putra, yakni Ir Punang Amaripuja SE MSc (34) dan Alun Paradipta (22).
Biografi singkat Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir di Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, 18 September 1943. Pendidikan SD dan SMP ditempuhnya di Sekolah Rakyat Negeri Klaten (1956) dan SMP Negeri Klaten (1959). Lalu melanjut ke SMA Negeri Solo (1962). Kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta (1969).

Kunto meraih master di University of Connecticut, AS (1974) dan gelar doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980) dengan disertasi Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940.

Anak kedua dari sembilan bersaudara ini dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah dunia seni. Ayahnya yang Muhammadiyah juga suka mendalang. Dia diasuh dalam kedalaman religius dan seni. Dua lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhannya semasa kecil dan remaja.

Semasa kuliah, beliau sudah akrab dengan dunia seni dan teater. Beliau bahkan pernah menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua Studi Grup Mantika, hingga 1971. Pada kesempatan ini, beliau berkesempatan bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan muda, seperti Arifin C. Noer, Syu’bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam dan Salim Said.

Sementara minat belajar sejarah sudah terlihat sejak kecil. Konon, saat belajar di madrasah ibtidaiyah di sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah (1950-1956), Kunto kecil sangat kagum kepada guru mengajinya, Ustad Mustajab, yang piawai menerangkan peristiwa tarikh (sejarah Islam) secara dramatik. Seolah beliau dan murid-murid lainnya ikut mengalami peristiwa yang dituturkan Sang Ustad itu. Sejak itu, beliau tertarik dengan sejarah.

Bakat menulisnya juga tumbuh sejak masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah itu. Gurunya, Sariamsi Arifin, seorang penyair dan Yusmanam, seorang pengarang. Kedua guru inilah yang membangkitkan gairah menulis Kunto.

Dia pun mengasah kemampuan menulis dengan terus menulis. Baginya, cara belajar menulis adalah banyak membaca dan menulis. Kunto, kemudian melahirkan sebuah novel berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari dimuat di Harian Jihad sebagai cerita bersambung.
Selain seorang sejarawan, Kunto juga seorang kiyai. Dia ikut membangun dan membina Pondok Pesantren Budi Mulia tahun 1980 dan mendirikan Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta tahun 1980. Dia menyatu dengan pondok pesantren yang menempatkan dirinya sebagai seorang kiai.

Dia juga seorang aktivis Muhammadiyah. Dia sangat lekat dengan Muhammadiyah. Dia pernah menjadi anggota PP Muhammadiyah. Bahkan dia melahirkan sebuah karya Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru. Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Syafii Maarif menyebut Kunto merupakan sosok pemikir Islam dan sangat berjasa bagi perkembangan Muhammadiyah. Menurut, Syafii, kritiknya sangat pedas tetapi merupakan pemikiran yang sangat mendasar.

Karya dan Penghargaan
Karya-karyanya pun terus mengalir sampai menjelang akhir hayatnya. Lebih 50 buku telah dirulisnya. Begitu juga cerpen dan kolom-kolomnya di berbagai media. Tak sedikit di antaranya meraih hadiah dan pengharaan. Cerita pendeknya, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1968), memenangkan penghargaan pertama dari sebuah majalah sastra. Kemudian kumpulan cerpennya yang diberi judul sama Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, mendapat Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik versi Harian Kompas berturut-turut pada 1995, 1996 dan 1997.

Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku, 1972. Naskah dramanya berjudul Rumput-Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalencana Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997), Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999) dan FEA Right Award Thailand (1999).

Juga menerima penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (1999). Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas, berjudul Mantra Pejinak Ular, ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada 2001.
Sementara, karya-karya intelektualnya antara lain Demokrasi dan Budaya (1994), Pengantar Ilmu Sejarah (1995), Metodologi Sejarah (1994), dan Radikalisme Petani (1993). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas Politik Umat Islam, terbitan Mizan, Bandung, 1997, Muslim tanpa Masjid, Mizan, Bandung, 2001, Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas, (2002)

PENAFSIRAN
Nilai-nilai Moral dan Religius serta Motivasi Hebat dari Tokoh Paripurna
Banyak sekali nilai-nilai yang dapat kita petik dari karya sastrawan yang satu ini. Betapa tidak, dalam keadaan sakit beliau masih tetap berjuang melawan penyakitnya denga suplemen berbagai macam obat yang mungkin membuat beliau bosan dalam rutinitas. Tapi sungguh luar bisa pola hidup dari pak kunto, beliau tetap disiplin dalam hidupnya. Dalam keadaan sakit beliau melahirkan berbagai karya.

Beliau juga pencetus sastra profetik. Pada saat pengukuhannya sebagi Guru Besar, pak kunto menggunakan semboyan Knowledge is Power yang berasal dari Michel Foucault. Beliau menyitir QS Al-Mujadalah ayat 11, yang menyebutkan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Pernyataanya pada saat itu menunjukkan komitmennya kepada ilmu. Ilmulah yang bisa mengangkat derajat makhluk dihadapan Khaliknya. Di sinilah tmpa sekali posisinya sebagai seorang budayawan profetik. Sebagaimana pernah dikatakannya, “Kebudayaan Islam adalah budaya profetik yang unsurnya ada tiga (QS. Ali Imron: 110), yaitu Humanisasi (amar makruf), Liberasi (nahyi munkar), dan transendensi (tu’minuna billah).”

Sajak itu menggambarkan dengan jelas "perjuangan" seorang manusia yang sudah melihat kelebatan malaikat di sekitarnya ketika ajal akan menjemput. Namun ia tak mau begitu saja menyerah. Ia menolak "berjalan di atas mega", walaupun diiming-imingi dengan hadiah yang barangkali tak pernah ada di dunia nyata. Ia masih ingin berada di bumi untuk melakukan kerja yang belum selesai: melibas kejahatan. Sampai kejahatan terakhir dimusnahkan,Sampai dhuafa dan mustadh'afin diangkat Tuhan dari penderitaan. Itulah gelora jiwa dan semangat hidup Kuntowijoyo, Padahal langkah-langkah kakinya kian tertatih dan suaranya kelu, tak jelas artikulasi kalimat-kalimatnya. Sungguh motivasi yang sangat luar biasa yang di berikan oleh sang tokoh.

Kita patut bangga pernah memiliki tokoh yang pemikirannya luar bisa bagi perkembangan sastra di Indonesia. Mungkin ada kekawatiran, kebiasaan yang menonjol dalam masyarakat Indonesia. Dan ini pernah dikhawatirkan oleh Prof. Benedict Andersen, bahwa di Indonesia orang sering mudah melupakan sang tokoh ketika sudah meninggal. Nama sang tokoh ungkin hanya tertulis di prasasti atau terpampang sebagai nama jalan. Bahkan kalaupun masyarakat umum dan generasi mudanya tahu nama sang tokoh, mereka kebanyakan tidak tahu buah pikiran dan karyanya. Inilah fenomena yang menyedihkan di negeri ini.

Apakah buah pikiran Kuntoijoyo yang cemerlang dalam bidang sejarah, sastra, seni, agama dan khususnya budaya mengalami “nasib” yang sama? Apakah “warisan” yang ditinggalkan oleh sejarawan yang dikenal sebagai pemikir ilmu sosial profetik ini kepada kita? Yang pasti beliau adalah sosok teladan. Kenanga terakhir dengan almarhum mengingatkan kekaguman akan keteladanannya sebagai guru yang membimbing mahasiswanya. Nama besarnya tidak mengalahkan sikap rendah hatinya bahkan bagi anak muda yang baru belajar. Orang-orang yang kenal dekat denga beliau tentu tahu betul akan hal ini.

Sosoknya sebagai guru dan pembimbing yang tawadlu’ membuat generasi muda menemuka kembali sosok panutan. Kesederhanaan hidupnya dan kebersahajaan tutur katanya menjadikan cahaya di tengah tawaran gemerlap hidup dan arogansi kekuasaan. Di akhir hayatnya pak Kunto menginginkan >aku ingin meletakkan sekuntum sajak dimakam nabi supaya sejarah menjadi jinak dan mengirim sepasang merpati.
posted by arief @ 06.36  
About Me

Name: arief
Home: Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia
About Me: Terlahir dengan nama Arief Kurniawan, sekarang lagi mempopulerkan diri di dunia maya www.arief-sastra1.blogspot.com, facebook: che_kurnia@yahoo.co.id email: arief_sastra1@yahoo.com ^_^ dilahirkan dg normal digubuk reyot orang tuanya dg bantuan seorang dukun pd Ahad pahing, 16 Maret 23 tahun yg lalu. Sejak kecil hoby menulis, apa yang ada dlm pikiran kucoba rangkai dg kata2, kutulis dg pena atau kutuntun jemariku mengetik semua keluh kesah & pikiran yang ada. Hanya manusia biasa, tak sebaik malaikat & semoga tak sehina iblis. selalu berusaha utk selalu dekat dengan ALLAH SWT. Tiap shubuh hobby, mem-play winamp musik-musik kitaro atau murattal-nya Ustadz Sa’ad Al Ghomidy, saya menemukan sebuah kedamaian di sana. Banyak teman, tapi tak banyak sahabat. Mahasiswa Mahasibuk yang punya kerjaan sampingan jadi kuncen gunung Wilis dan penulis lepas di beberapa media serta aktif di organisasi dakwah. Bisa ditemui di gedung dakwah jl. Jawa 38 atau Gedung Central Group Ponorogo Jl. Batoro Katong 15 dan di Jl. Wilis 22, lebih tepatnya di depan komputer mencari ide dan menulis kata hati atau apapun yang bisa ditulis. Bisa dihubungi di nomor 0352 488676 atau 085645813815
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Powered by

BLOGGER

© 2005 gerakan iqro' Blogspot Template by Isnaini Dot Com